Oleh: Alfuadi Imami
Beberapa bulan terakhir, hampir semua tempat belanja di Palembang sudah menyediakan QRIS. Mau beli kopi di kaki lima, makan pempek di warung, sampai belanja di toko kelontong pun sekarang bisa bayar pakai scan barcode. Praktis dan cepat. Tapi pengalaman itu berubah total saat saya jalan ke wilayah pesisir, seperti Pampangan atau Tulung Selapan. Di sana, jangankan QRIS—sinyal saja masih timbul tenggelam.
Pemerintah menyebut digitalisasi sistem pembayaran sebagai bagian dari strategi memperkuat ekonomi nasional. Data terakhir dari Bank Indonesia mencatat lebih dari 43 juta transaksi QRIS di Sumatera Selatan hanya dalam tiga bulan pertama 2025. Kabar ini tentu terdengar menggembirakan. Tapi saya rasa kita juga perlu bertanya: angka itu tumbuh di mana? Dan siapa saja yang sebenarnya terlibat di dalamnya?
Karena kalau kita jujur, perkembangan itu banyak terjadi di kota-kota besar. Di lapangan, saya masih sering melihat pelaku usaha kecil di daerah kesulitan memahami sistem digital. Banyak yang bahkan belum tahu apa itu QRIS, apalagi cara menggunakannya. Bukan karena tidak mau belajar, tapi karena belum ada yang benar-benar mendekat ke mereka.
Literasi digital di desa masih rendah, sementara infrastrukturnya pun belum memadai. Banyak pedagang hanya punya HP jadul, sinyal lemah, atau takut uangnya nyangkut kalau pakai metode pembayaran baru. Ketakutan ini masuk akal, apalagi ketika belum ada pendampingan yang benar-benar membumi.
Kita tidak bisa bicara soal keadilan ekonomi kalau akses ke teknologi saja belum merata. Dan kita juga tidak bisa terus bangga dengan lonjakan transaksi digital kalau sebagian masyarakat masih bingung dan tertinggal.
Karena itu, menurut saya, ada beberapa hal yang perlu segera dilakukan. Pertama, pemerintah daerah sebaiknya melibatkan pemuda lokal sebagai pendamping digital desa. Mereka yang paham teknologi bisa menjadi jembatan antara sistem dan pelaku usaha tradisional. Bukan cuma lewat pelatihan satu kali, tapi dengan mendampingi secara langsung.
Kedua, infrastruktur jaringan harus jadi prioritas. QRIS tak ada gunanya jika jaringan internet belum masuk ke pelosok. Perlu kolaborasi dengan penyedia layanan telekomunikasi untuk memperluas jangkauan sinyal, terutama di daerah pesisir dan pedalaman.
Ketiga, perangkat juga jadi soal. Banyak pedagang belum punya HP yang memadai untuk transaksi digital. Pemerintah atau BUMDes bisa hadir dengan program cicilan ringan atau subsidi untuk pengadaan alat usaha digital, agar transformasi ini benar-benar inklusif.
Terakhir, cara menyampaikan juga perlu diubah. Jangan lagi pakai bahasa terlalu teknis. Ajak masyarakat dengan cara yang sederhana, langsung ke pasar, ke lapak, ke warung kopi. Bantu mereka praktik, bukan hanya diberi slide presentasi.
Digitalisasi ekonomi bisa jadi harapan besar. Tapi hanya kalau kita serius memastikan bahwa semua orang bisa ikut naik ke perahu yang sama. Jangan sampai teknologi jadi pembeda baru antara yang maju dan yang ditinggalkan.
Sumsel punya potensi besar di sektor UMKM, tapi kita harus pastikan bahwa kemajuan tak hanya berhenti di kota. Karena pembangunan yang adil, ya, harusnya terasa sampai ke titik paling pinggir.(*)