Scroll untuk baca artikel
PalembangSejarah

Jejak Kearifan Lokal dalam Sejarah Kantor Wali Kota Palembang

×

Jejak Kearifan Lokal dalam Sejarah Kantor Wali Kota Palembang

Sebarkan artikel ini

Palembang, UpdateKini – Sejarah tidak hanya hidup dalam arsip atau bangunan tua, melainkan juga dalam tradisi, naskah kuno, dan nilai-nilai yang diwariskan. Inilah yang terungkap dalam Kajian Reboan Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang, yang mengangkat tema “Kantor Ledeng dalam Catatan Sejarah dan Naskah”. Rabu (9/7/2025).

 

Salah satu kisah yang mencuri perhatian adalah penyelenggaraan syukuran besar setelah rampungnya pembangunan Kantor Ledeng pada tahun 1934.

 

Dalam paparan yang disampaikan Dr. Kemas A.R. Panji, M.Si., berdasarkan buku Sejarah Kantor Walikota Palembang dari Masa ke Masa dan naskah kuno milik Ustad Kemas H. Andi Syarifuddin, disebutkan bahwa masyarakat saat itu mengadakan acara syukuran dengan mengundang 1.500 orang, menyembelih dua ekor sapi, dan memasak nasi bersama di halaman Masjid Agung Palembang.

 

Peristiwa tersebut bukan hanya menggambarkan suka cita atas hadirnya fasilitas pemerintahan, tetapi juga memperlihatkan keterlibatan spiritual dan semangat kebersamaan warga Palembang kala itu. Ini menjadi penanda bahwa pembangunan fisik tidak pernah berdiri sendiri, melainkan dibarengi dengan penghormatan terhadap nilai budaya dan keimanan.

 

“Syukuran itu bukan sekadar seremoni, tapi cerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,” ujar Kemas A.R. Panji.

 

Sementara itu, Prof. Dr. Duski Ibrahim, M.Ag., dan Dr. Muhammad St. Awaluddin mendorong agar kisah-kisah semacam ini terus dikaji dari berbagai perspektif, baik dari segi manuskrip, arsitektur, maupun dimensi sosial budaya, karena memiliki potensi besar untuk memperkaya khazanah sejarah lokal.

 

Apa yang terjadi di tahun 1934 mengajarkan bahwa setiap bangunan adalah bagian dari narasi besar sebuah kota, yang tak hanya dibentuk oleh semen dan batu, tetapi juga oleh doa, rasa syukur, dan solidaritas masyarakat.

 

Pada penutupan kajian, buku sejarah tersebut secara simbolis diserahkan kepada Prof. Dr. Duski Ibrahim dan Dr. Muhammad Torik, sebagai bentuk pelestarian pengetahuan untuk generasi selanjutnya. (*)