Scroll untuk baca artikel
PalembangSejarah

Di Ujung Arus Sungai, Menyelamatkan Warisan Sebelum Membeku

×

Di Ujung Arus Sungai, Menyelamatkan Warisan Sebelum Membeku

Sebarkan artikel ini

Apa yang terjadi ketika air berhenti bicara dan manusia berhenti mendengar? Mungkin… sungai pun belajar diam.

 

Palembang, UpdateKini – Sungai Musi yang membelah Kota Palembang masih berkilau, tapi kilau itu tak lagi jernih. Di balik alirannya, cerita-cerita lama nyaris tenggelam bersama lumpur dan bau limbah yang kini lebih lebih menyengat dari harapan. Dulu, sungai-sungai ini menjadi nadi kehidupan. Sekarang? Mereka seperti hanya menjadi batas wilayah atau sekadar saluran buangan.

 

Jejak Sungai, Jejak Peradaban

Palembang bukan kota biasa. Ia lahir dari air. Sungai Musi dan ratusan anak-anak sungainya bukan sekadar jalur lalu lintas, tetapi ruang hidup yang membentuk lanskap budaya, sosial, dan ekonomi sejak abad ke-7.

“Palembang itu ‘peradaban air’. Kita bukan sekadar kota di tepian sungai, tapi kota yang tumbuh di atas sungai,” ujar Dr. Kemas A. R. Panji, peneliti sejarah sungai dari UIN Raden Fatah Palembang.

 

Dari catatan I-Tsing pada abad ke-7 hingga pemetaan kolonial Belanda di abad ke-19 dan 20, tercatat lebih dari 700 sungai mengaliri kota ini. Kini, menurut data Koalisi KAWALI (2025), hanya tersisa 114 sungai aktif. Angka ini adalah peringatan keras atas abainya pengelolaan warisan ekologis Palembang.

 

Ketika Rumah Rakit Diganti Beton

Kawasan tepian sungai yang dahulu hidup dengan rumah panggung dan rakit, kini perlahan berubah menjadi kanal mati dan drainase beton. Sungai Sekanak misalnya, yang dulunya menghubungkan komunitas-komunitas kampung tradisional, kini tengah direstorasi lewat proyek “Sekanak Lambidaro Riverfront”. Proyek ini diharapkan menjadi titik balik, namun banyak warga pesimis jika tidak disertai edukasi dan kesadaran masyarakat.

Ia juga menyebut bahwa revitalisasi harus menyentuh akar budaya, bukan hanya infrastruktur.

“Restorasi tanpa partisipasi warga hanya jadi proyek mercusuar,” kata Kemas, di FGD bertajuk Sungai: Jejak Sejarah, Realita Hari Ini dan Masa Depan Kota Palembang, Senin (14/7/2025).

 

Sungai sebagai Jalur Perlawanan dan Perdagangan

Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, sungai bukan hanya jalur perdagangan, tetapi juga sistem pertahanan dan tempat lahirnya budaya rakyat. Benteng Kuto Besak, misalnya, dibangun dikelilingi empat sungai yakni, Kapuran, Sekanak, Tengkuruk, dan Musi. Dari situ syair-syair lisan, pantun, dan upacara adat lahir yang terikat erat.

“Sekarang, anak-anak kita banyak yang tak kenal nama sungai di kampungnya sendiri, Sungai Aur, Prigi, atau Sekanak, terdengar asing. Padahal itu adalah identitas,” ungkap Kemas.

 

Menggali Potensi, Bukan Mengurasnya

Kemas mengatakan, paradoks Palembang adalah, kaya akan sejarah sungai, tetapi miskin dalam pengelolaannya. Urbanisasi yang tak terarah menjadikan sungai sebagai korban. Pencemaran, pendangkalan, dan pendirian bangunan di sempadan sungai menjadi pemandangan harian.

Namun, harapan belum terlambat. Penelitian menunjukkan sungai masih bisa menjadi koridor wisata sejarah dan ekonomi hijau. Rumah-rumah tua seperti Rumah Limas Cek Mas dan rumah Baba Ong Boen Tjit menjadi saksi masa kejayaan perdagangan sungai dan kini berpotensi menjadi daya tarik wisata sejarah.

“Revitalisasi anak sungai, pemberdayaan komunitas tepian sungai, promosi perahu ketek, hingga pelestarian rumah limas adalah strategi yang diajukan para akademisi dan aktivis lingkungan,” urai pria berkacamata itu.

 

Sungai Bukan Warisan Diam, Tapi Tanggung Jawab Aktif

“Ini bukan hanya tentang sungai,” kata Kemas dengan nada serius.

“Jika kita gagal menjaga sungai hari ini, maka kita sedang menenggelamkan peradaban esok hari,” sambungnya.

Ia meyakini bahwa penyelamatan sungai bukan urusan nostalgia, tetapi urusan masa depan. Palembang tak kekurangan peraturan, dari UU Sumber Daya Air hingga Perda dan Perwali. Namun, hukum tanpa penegakan hanya jadi dokumen.

“Dibutuhkan satu hal yang lebih mendasar, yakni kesadaran kolektif bahwa menjaga sungai adalah menjaga sejarah, lingkungan, dan masa depan,” terangnya. (*)