Palembang, UpdateKini – Di tengah tekanan hidup perkotaan yang semakin intens, gaya hidup slow living mulai menjadi pilihan banyak orang sebagai cara untuk menjaga kesehatan mental dan kualitas hidup. Konsep ini menekankan hidup yang lebih sadar, tenang, dan tidak terburu-buru, sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya serba cepat yang mendominasi kota-kota besar.
Slow living berasal dari gerakan slow movement yang mulai dikenal sejak tahun 1980-an di Italia, sebagai respons terhadap dominasi makanan cepat saji. Seiring waktu, gerakan ini berkembang ke berbagai aspek kehidupan, termasuk cara bekerja, bersosialisasi, hingga merawat diri. Fokusnya adalah mengurangi stres dan meningkatkan kesadaran atas hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari.
Di era digital saat ini, kelelahan mental (mental fatigue) dan burnout menjadi masalah yang semakin umum, terutama di kalangan pekerja urban. Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa stres kerja menjadi penyebab utama gangguan kecemasan dan depresi pada usia produktif. Dalam konteks ini, slow living hadir sebagai solusi alternatif untuk mengembalikan keseimbangan hidup.
Penerapan gaya hidup ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana, seperti membatasi penggunaan gawai, menikmati waktu makan tanpa distraksi, memperbanyak aktivitas di alam, serta memperlambat ritme kerja agar lebih manusiawi. Banyak orang juga memilih memperbaiki rutinitas tidur, mengurangi konsumsi informasi yang berlebihan, dan membangun hubungan sosial yang lebih bermakna.
Secara global, tren ini makin populer, terutama di negara-negara maju seperti Jepang, Swedia, dan Jerman. Di Indonesia, popularitasnya terlihat dari meningkatnya minat terhadap konten bertema minimalisme, journaling, perawatan diri alami, dan kegiatan yang menumbuhkan kesadaran (mindfulness), terutama di media sosial.
Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Palembang mulai melihat pergeseran gaya hidup ini. Ruang publik dan kafe dengan konsep tenang dan ramah lingkungan semakin diminati. Sementara itu, komunitas lokal mulai mengadakan kegiatan yang mendukung slow living, seperti kelas yoga, meditasi, dan pelatihan pertanian kota (urban farming).
Meski belum menjadi arus utama, slow living menjadi semacam pengingat bahwa keberhasilan tidak selalu harus diukur dari kecepatan dan produktivitas tinggi. Dalam dunia yang bergerak terlalu cepat, memperlambat justru bisa menjadi langkah bijak untuk kembali menemukan makna hidup.















