Palembang, UpdateKini – Bagi banyak orang, Thomas Stamford Raffles dikenal sebagai pendiri Singapura, tokoh modernisasi Asia Tenggara, dan penulis buku terkenal History of Java. Namun, di balik reputasinya sebagai sosok cerdas dan visioner, Raffles menyimpan bab gelap yang jarang dibicarakan, dan itu terjadi di Palembang, di tepi Sungai Musi.
Di sinilah, dalam riset Dudy Oskandar, wartawan senior sekaligus penulis buku Gajah Palembang, jauh sebelum Singapura berdiri, Raffles mengirim surat rahasia kepada Sultan Mahmud Badaruddin II.
Surat itu berisi janji manis bahwa Inggris akan membantu Palembang melawan Belanda, dan sebagai imbalan, Kesultanan Palembang Darussalam akan dibiarkan merdeka sepenuhnya jika Inggris berhasil merebut Jawa.
Sebagai tanda keseriusan, Raffles bahkan menyelundupkan 80 pucuk senapan dan 10 keranjang amunisi kepada sang sultan.
Namun, janji itu hanyalah skenario licik politik kolonial. Ketika Inggris berhasil menaklukkan Batavia pada 1811, Sultan Mahmud Badaruddin menuntut agar Belanda menyerahkan benteng Palembang sesuai janji Raffles. Tapi Residen Belanda Van Woortman menolak, dan benteng pun diserbu. Dari 87 tahanan Belanda dan serdadu Jawa, 24 orang tewas di Sungsang.
Peristiwa ini dikenal dunia sebagai “Palembang Massacre”, dengan dua versi berbeda yakin sumber Palembang menyebut korban tewas karena pemberontakan di kapal, bukan perintah sultan. Sedangkan sumber dari pihak Inggris menuduh pembantaian itu diperintahkan oleh Sultan sendiri.
Dudy Oskandar mencatat bahwa peristiwa inilah yang menjadi alasan utama Raffles menyerang balik Palembang, meski ironisnya, akar masalah justru berawal dari surat rahasia Raffles sendiri yang menjanjikan kemerdekaan.
Dengan dalih menegakkan “hukum dan ketertiban”, Inggris mengirim ekspedisi militer di bawah Mayor Jenderal Robert Gillespie pada 1812.
Sultan Mahmud Badaruddin menyiapkan rakit bermeriam dan rakit api, strategi perang air yang memukau.
Namun, Palembang kalah setelah adiknya, Pangeran Ahmad Najamuddin, menyerah dan berpihak kepada Inggris.
Tanggal 26 April 1812, bendera Inggris berkibar di Benteng Kuto Besak. Sultan Mahmud Badaruddin menyingkir ke pedalaman, melanjutkan perlawanan secara gerilya.
Raffles kemudian mengangkat Najamuddin sebagai sultan boneka, tetapi rakyat Palembang tetap melawan. Bahkan beberapa perwira Inggris seperti Mayor Meares tewas di tangan pejuang lokal.
Setahun kemudian, Mayor William Robinson mencoba berdamai dan menandatangani kesepakatan yang mengembalikan Sultan Mahmud Badaruddin ke takhta. Namun, Raffles membatalkannya, menuduh Robinson menerima suap, dan mengirim serangan baru.
Ironisnya, setelah semua kekacauan itu, pada 1814 Inggris mengembalikan Hindia ke Belanda lewat Traktat London.
Palembang kembali jatuh ke tangan Belanda. Sementara Raffles sendiri pindah ke Bengkulu, dan dari sanalah, ia kelak mendirikan Singapura pada tahun 1819.
“Aib” yang Tak Pernah Diceritakan
Banyak catatan kolonial berusaha menghapus jejak kekalahan politik Raffles di Palembang. Namun, menurut Dudy Oskandar, kegagalan Raffles di Palembang justru menjadi salah satu noda terbesar dalam kariernya di Asia Tenggara.
Sang “pendiri Singapura” ternyata juga seorang manipulator politik yang gagal menaklukkan kehormatan Melayu Palembang.
Ironisnya, saat Raffles kemudian dikenal dunia karena “mendirikan Singapura” pada 1819, membangun pelabuhan perdagangan bebas dan menulis tentang kemajuan Asia, ia sudah meninggalkan jejak pahit di Palembang, kota yang pernah ia janji bebaskan, tapi justru ia taklukkan dengan tipu daya.
Menurut Dudy, surat rahasia Raffles adalah simbol dari politik kolonial Inggris yang bermuka dua.
“Raffles sering dianggap pahlawan peradaban di Singapura. Tapi di Palembang, ia menunjukkan sisi gelap kolonialisme mengkhianati janji, memecah keluarga kerajaan, dan merebut sumber daya alam,” tulis Dudy.
Kini, dua abad kemudian, surat rahasia Raffles menjadi pengingat bahwa sejarah tak selalu ditulis oleh pemenang dengan niat murni.
Di Palembang, nama Sultan Mahmud Badaruddin II tetap hidup sebagai bukti bahwa martabat dan kedaulatan tak bisa dibeli oleh janji manis dari seorang penjajah, bahkan oleh “pendiri Singapura” sekalipun.















