PalembangSejarah

Abad ke-17, Ratu Sinuhun Sudah Bicara soal Hak Perempuan

×

Abad ke-17, Ratu Sinuhun Sudah Bicara soal Hak Perempuan

Sebarkan artikel ini

Palembang, UpdateKini –  Sosok perempuan dari abad ke-17 yang nyaris luput dari arus utama sejarah kini kembali diangkat ke permukaan. Dialah Ratu Sinuhun, permaisuri dari Raja Sido Ing Kenayan, penguasa Kerajaan Islam Palembang. Lebih dari sekadar tokoh pendamping raja, Ratu Sinuhun dikenal sebagai penyusun Undang-Undang Simbur Cahaya, sebuah karya hukum yang mencerminkan visi luar biasa tentang keadilan dan perlindungan terhadap perempuan.

 

Ratu Sinuhun diperkirakan lahir pada akhir abad ke-16 di Palembang. Ia merupakan keturunan bangsawan dari dua jalur besar: pihak ayahnya, Temenggung Manco Negaro, berasal dari trah Cirebon dan Sunan Giri; sementara ibunya adalah keturunan Ki Gede Ing Suro, Raja Kedua Kerajaan Islam Palembang.

 

Melalui pernikahannya dengan Sido Ing Kenayan, Ratu Sinuhun tidak hanya menjadi pendamping politik, tetapi juga sosok pembaru hukum dan budaya.

 

Karya monumentalnya, Undang-Undang Simbur Cahaya, ditulis dalam aksara Arab-Melayu dan diberlakukan di wilayah “Uluan” dan daerah kekuasaan Kerajaan Palembang. Uniknya, kitab ini memadukan hukum adat dengan nilai-nilai Islam, dan secara eksplisit memuat pasal-pasal perlindungan terhadap perempuan—melarang kekerasan fisik, pelecehan seksual, ucapan tak senonoh, serta memberikan hak perempuan untuk melapor dan menuntut keadilan.

 

Lebih dari dua abad sebelum R.A. Kartini menulis surat-suratnya, Ratu Sinuhun telah menuangkan pemikiran emansipatif ke dalam bentuk hukum tertulis. Sebuah tindakan yang bukan hanya revolusioner, tetapi juga menjadi bukti konkret tentang kesadaran hukum dan keadilan gender di masa lampau.

 

“Kiprahnya Ratu Sinuhun sangat luar biasa untuk bangsa, khususnya para perempuan. Sejak dini Ratu Sinuhun sudah memperhatikan harkat dan martabat wanita,” ujar Ketua Umum Srikandi TP Sriwijaya, Nyimas Aliah, di BKB, Rabu (23/7/2025).

 

Tak hanya menyusun hukum, Ratu Sinuhun juga memahami sistem pemerintahan. Dalam Undang-Undang Simbur Cahaya, disebutkan bagaimana struktur marga diatur, serta bagaimana pemimpin lokal seperti pasirah, kerio, atau penggawo memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi bagi pelaku pelanggaran hukum, baik denda maupun kurungan.

 

Ratu Sinuhun wafat pada tahun 1643 M dan dimakamkan di Komplek Makam Sabokingking, Palembang. Namun semangat dan pikirannya tetap hidup, terutama ketika masyarakat kini mulai menyadari bahwa nilai-nilai keadilan dan perlindungan perempuan sudah diperjuangkan sejak ratusan tahun lalu oleh perempuan dari tanah Sriwijaya ini.

 

Senada, Sejarawan Sumatera Selatan, Dr. Kemas Ari Panji. Ia menilai Ratu Sinuhun sebagai sosok visioner yang jauh melampaui zamannya.

 

“Ia bukan hanya perumus hukum, tapi juga pejuang kesetaraan gender. Dalam konteks abad ke-17, keberanian dan visinya terhadap perlindungan perempuan serta rakyat kecil sangat progresif,” ungkap Dr. Kemas.

 

Ratu Sinuhun menyusun Kitab Oendang-Oendang Simboer Tjahaya, hukum tertulis pertama yang memadukan adat Palembang dan syariat Islam.

 

“Kitab ini mencakup lima bagian besar, yakni adat bujang gadis dan kawin, hukum perhukuman, adat marga, aturan kaum, serta aturan dusun dan berladang, totalnya lebih dari 170 pasal,” terangnya. (fly)