Opini

Dampak Elektoral Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

×

Dampak Elektoral Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

Sebarkan artikel ini

Oleh : Fatkurohman, S.Sos

(Peneliti Public Trust Institute dan BDRC)

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak memasuki babak baru pasca Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemilu nasional dipisahkan dengan pemilu daerah. Keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu daerah atau lokal).

 

Putusan tersebut menjelaskan pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.

 

Dikutip dari laman MKRI.ID terungkap dan tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Putusan ini diucapkan dalam Sidang Pengucapan Putusan, Kamis (26/6/2025) di Ruang Sidang Pleno MK. Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 (lima) kotak” tidak lagi berlaku.

 

Tujuan dari keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat. Selain itu, Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa hingga saat ini pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan tanggal 26 Februari 2020.

 

Kemudian, secara faktual pula, pembentuk undang-undang sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan pemilihan umum. Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional.

 

Adapun alasan pemisahan pemilu nasional dan daerah, Mahkamah berpendapat masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden.

 

Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa tahapan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari 1 (satu) tahun dengan pemilihan kepala daerah, juga berimplikasi pada partai politik terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum.

 

Akibatnya, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik. Perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga jauh dari proses yang ideal dan demokratis karena partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan electoral.

 

Selain itu, pemisahan pemilu nasional dan daerah juga untuk meningkatkan efektifitas penyelenggara pemilu. Tumpukan beban kerja penyelenggara yang terpusat pada rentang waktu tertentu menyebabkan adanya kekosongan waktu yang relatif panjang bagi penyelenggara pemilu. Masa jabatan penyelenggara pemilihan umum menjadi tidak efisien dan tidak efektif karena hanya melaksanakan ‘tugas inti’ penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekitar 2 (dua) tahun.

 

Masa Transisi

Mahkamah berpendapat, pengaturan masa transisi/peralihan masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pemilihan pada tanggal 27 November 2024, serta masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan pada tanggal 14 Februari 2024, Mahkamah mempertimbangkan bahwa penentuan dan perumusan masa transisi ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Selanjutnya, penentuan dan perumusan dimaksud diatur oleh pembentuk undang-undang dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, termasuk masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional.

 

Sementara, itu mengenai transisi kekosongan kepala daerah, jika mengacu dalam UU No.10 Tahun 2016 pasal 201 ayat (9) Perubahan Kedua atas UU Np. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPU No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU (UU Pilkada) menyebutkan untuk mengisi kekosongan (transisi) jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya, maka diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota. Berlaku sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada 2024 mendatang. Bisa saja dengan adanya putusan MK terkait pilkada serentak, UU tersebut kembali mengalami perubahan.

 

Dampak Politik Elektoral

Dampak politik dan elektoral atas putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah sangat akan terjadi. Apa saja dampak politik dan elektoral tersebut;

 

Pertama, jika tetap pada sistem proporsional terbuka, bagi calon anggota DPR RI kerja politiknya akan semakin berat. Selama ini, caleg DPR RI bisa berkolaborasi dengan calon anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota dalam pemilu dengan pemisahan maka para caleg DPRD bakal menahan diri terutama dalam logistik pemilu sehingga ini dampaknya pada biaya politik semakin besar. Praktis kolaborasi bisa dilakukan dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Maka dengan sistem tersebut, peluang caleg dengan logistik besar dan jaringan kuat diluar jaringan parpol yang akan bisa bersaing dan potensi memenangkan pemilu.

 

Kedua , bagi petahana kepala daerah. Dampak putusan MK membuat adanya stagnasi elektoral karena terjadi rentang transisi politik yang panjang sekitar 2 tahun pasca habisnya masa jabatan sekitar awal 2030 dan pilkada serentak diperkirakan pada akhir 2031. Hal ini menyebabkan kejenuhan pemilih sehingga tidak mudah untuk kerja politik bagi petahana.

 

Ketiga , Penjabat Kepala Daerah jadi kuda hitam. Jika tetap mengacu pada UU No 10 Tahun 2016 maka masa transisi bakal kembali diisi oleh penjabat. Berkaca pada pilkada serentak 2024 hal ini bisa menjadi peluang bagi penjabat untuk masuk dalam kontestasi pilkada serentak sebagai kandidat debutan dengan memanfaatkan parpol yang minim kader untuk bisa maju pilkada serentak. Hal ini juga membuat ancaman bagi petahana yang sudah habis masa jabatan dan mengalami stagnasi elektoral.

 

Keempat, Caleg gagal pemilu nasional turun kasta. Dampak lain dari putusan MK juga terbuka peluang bagi caleg nasional yang gagal di pemilu nasional terutama DPR RI dan DPD RI bisa turun kasta menjadi kompetitor di pemilu daerah dengan modal telah memiliki jaringan politik terlebih dahulu.

 

Kelima, kolaborasi Calon Kepala Daerah dan Caleg DPRD. Dengan serentaknya pileg DPRD dengan pilkada serentak akan membuat kolaborasi antara caleg dprd dan calon kepala daerah pasti akan terjadi dan ini bisa menguntungkan bagi caleg parpol yang mengusung calon kepala daerah sendiri (kader), terlebih calon kepala daerah yang diusung sosok yang popular secara elektoral bakal berdampak positif bagi parpol dan caleg di pemilu daerah untuk mendulang suara. Namun sulit bagi parpol kecil dan minim kader kolaborasi yang sulit efektif. Untuk itu, parpol kecil dan minim kader harus pandai melihat situasi politik agar bisa membuka peluang elektoral dan bersaing dengan partai besar. Apalagi ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah pasca putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 bisa membuka peluang bagi parpol kecil dan non parlemen untuk bisa mengusung calon kepala daerah. (*)