Sejarah

Jejak Panjang Rokok, dari Ritual Leluhur hingga Industri Global

×

Jejak Panjang Rokok, dari Ritual Leluhur hingga Industri Global

Sebarkan artikel ini

Palembang, UpdateKini – Rokok bukan sekadar produk konsumsi, melainkan hasil dari sejarah panjang yang melintasi benua, budaya, dan generasi. Dari daun tembakau di tangan para kepala suku hingga menjadi industri bernilai miliaran dolar, jejak rokok mencerminkan perjalanan kompleks manusia terhadap zat yang memikat sekaligus memicu perdebatan.

Asal Usul: Tembakau dan Suku Asli Amerika

Penggunaan tembakau pertama kali tercatat dalam kebudayaan masyarakat asli Amerika, jauh sebelum kolonisasi Eropa. Bagi suku-suku seperti Maya, Aztek, dan Iroquois, tembakau adalah tanaman sakral. Daunnya digunakan dalam ritual keagamaan, pengobatan, bahkan komunikasi spiritual.

Tembakau tidak hanya dihisap, tetapi juga dikunyah, dibakar dalam api upacara, hingga dijadikan bagian dari upacara penyambutan tamu penting. Ketika bangsa Eropa datang ke Dunia Baru pada akhir abad ke-15, mereka menemukan daun tembakau sebagai komoditas yang belum pernah dikenal sebelumnya.

Penyebaran ke Dunia: Kolonialisme dan Perdagangan

Penjelajah seperti Christopher Columbus dan awaknya mencatat kebiasaan penduduk lokal yang menghisap asap dari daun yang dibakar. Pada awal abad ke-16, tembakau mulai dibawa ke Eropa, di mana awalnya digunakan untuk pengobatan. Jean Nicot, duta besar Prancis untuk Portugal, memperkenalkan tanaman ini ke istana kerajaan dan dari namanya pula, muncul istilah “nikotin”.

Seiring berkembangnya perdagangan kolonial, tembakau menyebar luas ke Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Rokok awalnya hanya lintingan daun tembakau sederhana berubah menjadi bentuk komersial saat Revolusi Industri memperkenalkan mesin pelinting otomatis pada akhir abad ke-19.

Rokok Masuk Nusantara: Dari Kolonial hingga Kretek

Di Indonesia, tembakau dibawa masuk oleh pedagang Portugis sekitar abad ke-17. Tanaman ini tumbuh subur di berbagai daerah seperti Deli (Sumatera Utara), Temanggung (Jawa Tengah), dan Madura. Kolonial Belanda melihat potensi tembakau sebagai komoditas ekspor, bahkan menjadikannya bagian dari sistem tanam paksa.

Namun di sinilah muncul inovasi lokal yang membedakan Indonesia dari dunia: kretek. Pada awal abad ke-20, seorang pria asal Kudus bernama Haji Jamhari mencampur tembakau dengan cengkeh untuk meredakan sesak dada. Hasilnya, rokok beraroma khas ini segera populer dan menyebar luas. Kretek menjadi simbol budaya dan ekonomi nasional, dan hingga kini Indonesia tetap menjadi satu-satunya negara produsen rokok kretek terbesar di dunia.

Industri dan Dampak Sosial

Rokok menjadi industri besar pada abad ke-20. Perusahaan-perusahaan seperti Sampoerna, Djarum, dan Gudang Garam berkembang pesat. Rokok menjadi bagian dari gaya hidup, iklan, bahkan seni. Namun, bersamaan dengan itu, muncul kritik dan peringatan keras dari dunia kesehatan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut tembakau sebagai salah satu penyebab utama kematian yang dapat dicegah. Pemerintah Indonesia sendiri menghadapi dilema antara menjaga sektor ekonomi, yang melibatkan jutaan petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang eceran dan mengurangi konsumsi melalui regulasi dan kampanye kesehatan.

Rokok Hari Ini: Antara Tradisi dan Tantangan

Di era modern, rokok menghadapi tantangan baru, yakni produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik (vape), kebijakan cukai ketat, hingga kampanye anti-tembakau global. Generasi muda kini menghadapi pilihan yang berbeda, meski penetrasi rokok konvensional tetap tinggi di Indonesia.

Namun yang pasti, rokok bukan sekadar produk. Ia adalah bagian dari sejarah panjang interaksi manusia dengan alam, ekonomi, dan sistem nilai. Jejaknya tertinggal di ritual adat, kisah kolonialisme, perjuangan buruh, hingga iklan-iklan yang pernah menguasai layar televisi dan baliho jalan raya.

Dan meskipun masa depan rokok masih menjadi perdebatan, sejarahnya tak akan mudah dilupakan, sebuah warisan penuh asap, cerita, dan kontroversi.