Scroll untuk baca artikel
PalembangSejarah

Ledeng!, Gedung Ini Mendoakanmu, Atau Melupakanmu

×

Ledeng!, Gedung Ini Mendoakanmu, Atau Melupakanmu

Sebarkan artikel ini
Kantor Wali Kota Palembang

Palembang, UpdateKini – Di jantung kota yang panas dan terus bergerak, berdiri sebuah gedung putih berhiaskan kaca patri yang diam-diam menatap masa lalu. Gedung itu tak hanya menyimpan sejarah, ia menghidupkannya. Dialah Kantor Ledeng, tempat di mana air dulu mengalir tak hanya ke rumah-rumah, tapi juga ke dalam nadi kolektif kota ini.

 

Gedung Tua, Ingatan yang Panjang

Dibangun tahun 1928, gedung ini unik bukan karena usianya, tapi karena fungsinya, kantor walikota sekaligus menara air, jelas Dr.Kemas Ari Panji, di Diskusi dan Bedah Buku bertajuk “Kantor Wali Kota Palembang dari Masa ke Masa, di Gedung Kesenian, Sabtu (28/6/2025).

Dan di atas kepalanya dulu, tangki berbentuk salib menampung harapan warga akan air bersih. Ia ditopang 32 tiang beton, berdiri seperti rahim sejarah yang melahirkan banyak cerita. Dari tangga spiral yang masih asli hingga ubin terrazzo yang dingin, gedung ini tak pernah tidur. Ia hanya menunggu kita duduk dan mendengar.

Di sebuah sudut Kantor Walikota Palembang, juga tersembunyi kisah yang nyaris tak terdengar. Ia bukan pejabat, bukan pula dokumen penting. Tapi siapa pun yang pernah datang ke kantor itu, baik sebagai rakyat kecil, tamu kehormatan, hingga penjajah asing pernah bersentuhan dengannya.

Ia adalah sebuah kursi panjang dari marmer, berdiri diam sejak 1931. Ya, kursi yang berumur 93 tahun, lebih tua dari kebanyakan gedung modern di kota ini, bahkan lebih tua dari Republik ini sendiri.

Kursi Marmer di Kantor Wali Kota Palembang

Kursi itu dulu dibuat dari dana sumbangan BPM Plaju, perusahaan minyak kolonial Belanda. Ia ditempatkan dengan gagah di lantai dasar Kantor Ledeng, balai kota sekaligus menara air pertama Palembang, tepat di area publik. Di atasnya pernah duduk warga Belanda menunggu administrasi, rakyat Jepang mengurus surat, dan rakyat Palembang yang mungkin ketakutan, gugup, atau sekadar istirahat.

Hari ini, kursi itu masih di tempat yang sama. Masih kokoh. Masih dingin. Dan mungkin, masih menyimpan gema percakapan-percakapan rahasia, keputusan penting, atau pengumuman bersejarah yang terlontar di sekitarnya.

“Banyak orang yang duduk di situ nggak sadar kalau mereka sedang duduk di atas sejarah,” kata Kemas A.R. Panji, penulis buku itu.

Kursi itu tak pernah bicara. Tapi ia menyaksikan segalanya, dari pengibaran bendera merah putih pertama di masa kemerdekaan, hingga rapat-rapat birokrasi era digital hari ini. Ia tak pernah pindah. Tak pernah tergantikan. Bahkan, tangannya yang dari batu, lebih setia dari meja-meja kayu yang berganti setiap periode.

Palembang mungkin berubah. Jalan-jalannya makin sempit, gedung-gedung menjulang. Tapi di tengah semua itu, kursi marmer itu tetap duduk di tempatnya. Diam. Tapi penuh cerita.

Diskusi dan Bedah Buku bertajuk “Kantor Wali Kota Palembang dari Masa ke Masa, di Gedung Kesenian, Sabtu (28/6/2025).
Kutukan dan Ganjaran yang Tak Kasat Mata

Tak jauh dari sana, di ruang-ruang dingin penuh berkas dan peta tata kota, sebuah kutukan diam-diam bekerja. Bukan kutukan mistis, tapi kutukan sejarah.

“Palembang bukan kota yang lupa. Ia tahu siapa yang membangun, dan siapa yang hanya datang untuk tanda tangan absen,” sebut Dr. Dedi Irwanto yang juga penulis buku itu.

Ia mengaitkan semangat itu dengan dua prasasti kuno, yakni Telaga Batu, yang menyumpah pejabat khianat agar namanya dilupakan sejarah, dan Talang Tuo, yang mendoakan pemimpin baik agar diberi keberkahan. Dua batu tua dari zaman Sriwijaya, dua kutub takdir yang masih berdengung di dinding-dinding Ledeng.

“Gedung ini bukan batu mati, Ia punya indera. Ia mengingat.” bisik Dr Dedi.

Jika kamu kelak memimpin kota ini, ingatlah, gedung ini melihatmu. Ia tahu siapa yang bekerja, siapa yang pura-pura sibuk. Ia tahu siapa yang datang dengan hati, dan siapa yang datang membawa rencana kosong.

Dan jika suatu hari kau duduk di kursi marmer itu, jangan hanya rebahkan punggung. Rasakan detak kota yang telah melewati satu abad.

“Karena Palembang, kota yang bertuah ini, akan selalu mengganjar, atau menghapus namamu, dengan cara yang tak kau duga,” tutupnya.