Palembang, UpdateKini – Palembang adalah kota sungai, bukan hanya karena Sungai Musi yang membelah tubuhnya, tapi karena seluruh nadi kehidupan masyarakatnya dulu mengalir melalui 117 anak sungai. Di tepian sungai-sungai itulah lahir pasar, rumah, bahkan kekuasaan.
Namun hari ini, kota ini tak lagi mengenali wajah lamanya. Sungai-sungai ditimbun, dialihkan, disempitkan, atau dibiarkan mati. Palembang adalah kota air yang kehilangan sungai.
“Riparian culture atau budaya tepian sungai, dulu sangat kuat di Palembang. Kini, sungainya nyaris hilang dari kesadaran masyarakat,” ujar Dr. Dedi Irwanto, sejarawan Universitas Sriwijaya, dalam presentasi pada FGD bertajuk Sungai: Jejak Sejarah, Realita Hari Ini, dan Arah Masa Depan Kota Palembang, Senin (14/7/2025), di Utopia Palembang.
Palembang secara geografis adalah kota yang dibentuk oleh air. Sungai Musi dan lebih dari seratus anak sungainya pernah menjadi nadi utama kehidupan: transportasi, ekonomi, budaya, hingga politik. Rumah-rumah menghadap ke air, dan muara sungai menjadi tempat lahirnya pasar dan pemerintahan.
Namun sejak awal abad ke-20, narasi ini berubah. Modernisasi bergaya kolonial memandang sungai bukan sebagai ruang hidup, melainkan ruang “kotor” yang perlu ditimbun.
“Sungai ditaklukkan, dialihkan, dan akhirnya dilupakan,” ujar sejarawan Universitas Sriwijaya itu, yang menjadi pemantik diskusi.
Penimbunan yang Terstruktur
Tahun 1913, pemerintah Gemeente Palembang mengundang ahli sungai Belanda, Rudolf A. van Sandick, untuk meneliti sistem perairan kota. Ia menemukan dua jenis anak sungai yakini, alami dan buatan (kanal dan suak). Namun, alih-alih memperkuat sistem ini, pemerintah kolonial memulai proyek masif penimbunan dan pembangunan jalan di atas sungai-sungai tersebut.
Dinas BOW (Departement van Burgerlijke Openbare Werken) mencatat pengeluaran ribuan gulden untuk membangun pelabuhan Boom Baru dan jalan Tengkuruk, sekaligus menutup sungai-sungai seperti Tengkuruk, Kapuran, Sayangan, dan Rindang. Sungai yang dulunya menjadi jalur perdagangan sultan, kini hilang berganti beton dan aspal.
“Salah satu ironi sejarah adalah Sungai Tengkuruk, yang pada abad ke-17 menjadi jalur diplomatik menuju Kraton Cinde Belang. Kini, tidak ada jejak air di jalur itu, yang tersisa hanya keramaian pasar dan kemacetan jalan kota,” ucapnya.
Pembangunan pelabuhan, jalan Tengkuruk, pasar Sekanak, hingga Sekanakweg dan Sluisweg, dengan menutup aliran sungai seperti Kapuran, Sayangan, dan Rendang. Bahkan pasir dari Sungai Musi bagian hulu disemprotkan ke kota untuk meninggikan lahan rawa.
Van Sandick sendiri pada waktu itu mengkritik kota Palembang sebagai kawasan tanpa perencanaan jelas, dengan ketergantungan tinggi pada air, tetapi kualitas air yang buruk. Ironisnya, upaya modernisasi justru menghilangkan sistem ekologi yang sejak awal menopang kehidupan kota.
Kota Air yang Membelakangi Air
Pandangan modern terhadap sungai sebagai “masalah sanitasi“, lanjut Dedi, menyebabkan perubahan total cara masyarakat memandang air. Dari tempat berkumpul dan bertukar cerita, sungai berubah menjadi saluran pembuangan. Sungai-sungai tidak lagi dihayati sebagai ruang budaya, melainkan disingkirkan dari ruang kota dan dari kesadaran kolektif.
“Dulu sungai adalah jantung kota. Sekarang rumah-rumah membelakangi sungai. Bahkan banyak warga tidak tahu bahwa jalan yang mereka lewati dulunya sungai,” tambah Dr. Dedi.
Perubahan ini juga memperlihatkan cara kekuasaan bekerja dalam membentuk ruang. Di satu sisi, kolonialisme membawa zonasi dan pembangunan. Di sisi lain, ia juga menghapus sistem ruang lokal berbasis air yang sudah eksis ratusan tahun.
Merawat yang Tersisa, Menghidupkan Kembali yang Terlupa
Dedi melanjutkan, transformasi ruang Palembang berlanjut hingga era republik. Proyek pengeringan lahan, perluasan kota, dan urbanisasi modern mempercepat hilangnya anak sungai. Dari 117 yang tercatat awal abad 20, sebagian besar kini tinggal nama. Beberapa berubah jadi got tertutup, sisanya mati pelan-pelan sebagai saluran limbah.
Kini, upaya revitalisasi seperti proyek Sekanak Lambidaro memberi harapan. Tapi revitalisasi tanpa kesadaran historis hanya akan jadi proyek lanskap tanpa jiwa. “Kota yang menutup airnya sendiri harus belajar membuka kembali bukan hanya jalur air, tapi juga memori kolektif tentang ruang dan kehidupan,” jelasnya.
Menuju Narasi Baru Kota Air
Membangun kota berkelanjutan di atas tanah bekas rawa bukan soal infrastruktur semata, tapi soal rekonsiliasi ruang. Palembang, dan banyak kota-kota sungai lainnya di Indonesia, perlu menyusun ulang narasi kotanya, dari yang meminggirkan sungai menjadi yang merangkul dan memulihkannya.
Dalam konteks krisis iklim dan tata ruang hari ini, menyelamatkan sungai bukan nostalgia, tapi keharusan ekologis dan kebudayaan.
“Karena ketika sungai hilang, yang ikut tenggelam bukan hanya air, tapi juga identitas kota itu sendiri,” terangnya. (*)















