PalembangSejarah

Pageran Krama Jaya dalam Catatan Murray Gibson

×

Pageran Krama Jaya dalam Catatan Murray Gibson

Sebarkan artikel ini

Palembang, UpdateKini – Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya (AMPCB), Vebri Al Lintani, menegaskan pentingnya sosok Pangeran Kramo Jayo dalam sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Selasa (18/2/2025).

 

Ia mengutip catatan perjalanan Walter Murray Gibson dalam buku “Prison of Weltevreden: and a Glance at East Indian Archipelago” (JC Riker, 1855), yang mengisahkan perjuangan rakyat Palembang membebaskan Pangeran Kramo Jayo dari pengasingan Belanda.

 

Dalam catatan tersebut, jelas Vebri, Gibson bercerita tentang pertemuannya dengan Tchoon Long, seorang keturunan Tionghoa di Palembang pada 1852—setahun setelah Pangeran Kramo Jayo diasingkan.

 

Tchoon Long mengungkapkan adanya rencana besar untuk membebaskan Pangeran Kramo Jayo. Ia menyebutkan sekitar ratusan ribu rupe disimpan di Singapura sebagai dana untuk membawa tokoh yang dicintai rakyat Palembang itu kembali dari tahanan di Karawang, Jawa.

 

Pangeran Kramo Jayo, yang memiliki nama asli Raden Abdul Azim, digambarkan sebagai sosok tinggi, kuat, dan berhati mulia. Ia dikenal dermawan, memberi makan 2.000 orang setiap hari, dan dihormati oleh masyarakat dari berbagai latar belakang, termasuk Melayu, Arab, dan Tionghoa.

 

Sosoknya dicintai hingga wilayah Pasemah, serta terkenal di seluruh Sumatera bagian barat hingga timur.

 

“Figur baik hati yang dicintai rakyat Palembang ini ditawan Belanda karena penjajah tidak menyukai tokoh hebat kecuali yang mereka ciptakan sendiri, tulis Gibson pada buku itu,” jelasnya.

 

Gelar Kramo Jayo yang diberikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) kepada Raden Abdul Azim bukanlah gelar sembarangan. Dalam tradisi Palembang, gelar tersebut mencerminkan karakter dan akhlak pemiliknya.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), krama berarti beradat atau sopan santun, sedangkan jaya berarti keberhasilan atau kemenangan. Dengan demikian, gelar ini mencerminkan sosok yang berakhlak mulia dan berjaya.

 

Meski tidak jelas apakah upaya pembebasan Pangeran Kramo Jayo berhasil, sejarah mencatat ia meninggal di pengasingan, dalam beberapa versi disebutkan di Probolinggo atau Purbalingga dan jenazahnya dibawa kembali ke Palembang.

 

Sebagai bukti nyata keberadaan tokoh ini, terdapat Kompleks Pemakaman Pangeran Kramo Jayo di Kelurahan 15 Ilir, Kecamatan Ilir Timur I, Palembang. Selain makam Pangeran Kramo Jayo, kompleks ini juga menjadi tempat peristirahatan istri, guru spiritual, dan beberapa kerabatnya.

 

Melihat nilai sejarah yang penting, AMPCB mendorong pemerintah segera menetapkan Kompleks Pemakaman Pangeran Kramo Jayo sebagai Cagar Budaya. Langkah ini dinilai mendesak sebagai upaya penyelamatan situs bersejarah yang kini terancam punah.

 

“Pangeran Kramo Jayo adalah bagian penting dari sejarah Palembang yang tidak boleh terhapus. Penetapan sebagai Cagar Budaya menjadi langkah konkret untuk melindungi dan melestarikan warisan berharga ini,” tegas Vebri Al Lintani.