Scroll untuk baca artikel
PalembangSeni dan Budaya

Pria Ini Ungkap Sosok Mistis di Kantor Wali Kota Palembang

×

Pria Ini Ungkap Sosok Mistis di Kantor Wali Kota Palembang

Sebarkan artikel ini

Palembang, UpdateKini – Kantor Walikota Palembang bukan sekadar saksi bisu sejarah kolonial, ia adalah tonggak awal modernisasi kota lewat teknologi konstruksi paling maju di masanya. Dibangun dengan struktur beton bertulang pertama di Palembang, gedung ini melibatkan semen Portland dari perusahaan Belanda, N.V. Portland Cement Maatschappij (kelak dikenal sebagai Semen Padang), dan baja dari Amerika Serikat.

Di tengah rawa dan sungai yang mendominasi topografi kota, keberadaan gedung ini menandai keberhasilan teknologi arsitektur kolonial dalam menaklukkan tantangan geografis, sekaligus membuka bab baru tentang kota yang makmur, terorganisir, dan penuh lapisan cerita, baik dalam cahaya sejarah maupun bayang-bayang mistisnya.

Kemegahan konstruksi itu tidak hadir tanpa kontroversi. Di balik kekokohan dinding dan lantai yang bertumpu pada rangka baja, tersembunyi cerita getir dari kebijakan sepihak seorang walikota kolonial, P.E.E.J. le Cocq d’Armandville.

Demi mempercepat pembangunan kantor pemerintahan yang kini menjadi ikon kota itu, ia memotong gaji para pegawai negeri sipil. Keputusan ini menuai amarah dan protes keras dari kalangan birokrasi lokal, hingga akhirnya sang walikota diberhentikan.

Kendali proyek pun dialihkan ke pemerintah pusat, namun ironisnya, dana yang digunakan tetap bersumber dari kas Keresidenan Palembang sendiri, kas daerah yang kala itu melimpah ruah.
Pendapatan Palembang pada awal abad ke-20 begitu besar karena sistem perpajakannya yang kompleks dan rinci.

“Tidak hanya pajak rumah atau tanah. Membawa pembantu dari ulu ke kota dikenai pajak, memelihara ternak, bahkan proses melahirkan pun tercatat sebagai sumber pendapatan pemerintah kota,” ujar Sejarawan Sumsel Dr. Dedi Irwanto, M.A. Senin (1/7/2025).

Pemasukan inilah yang kemudian menjadi motor penggerak modernisasi, seperti pembangunan Pasar 16 Ilir yang terus diperluas pada 1912, 1922, hingga 1932, mencerminkan siklus pembangunan yang produktif dan berkelanjutan.

Kantor Wali Kota Palembang
Kantor Ledeng, Ketika Kekuasaan Diuji “Si Noni Belanda”

Namun, di sela-sela derap modernitas, gedung ini juga menyimpan cerita lain yang tak terjamah catatan resmi, kisah-kisah yang berbisik dari balik dinding, muncul dalam keheningan malam, dan membentuk legenda tentang kehadiran sosok tak kasat mata.

Kisah tentang Noni Belanda, sosok perempuan muda Eropa yang konon meninggal secara tragis di masa pendudukan Jepang, menjadi cerita yang terus hidup dari generasi ke generasi.

Konon, arwahnya masih bergentayangan di dalam gedung, mengusik mereka yang duduk di kursi kekuasaan namun tak membawa prestasi.

“Ada cerita yang berkembang,” tutur Dr. Dedi Irwanto lirih.

“Tentang beberapa walikota, baik di masa kolonial maupun Indonesia merdeka, yang merasa terganggu saat bekerja di sana. Suara langkah kaki tanpa sumber, benda yang berpindah sendiri, hingga perasaan diawasi, terutama saat malam hari,” lanjutnya.

Dedi menekankan, kisah ini bisa jadi bentuk keresahan kolektif yang lahir dari atmosfer bangunan tua, atau bahkan cara masyarakat menyampaikan ketidakpuasan terhadap pemimpin-pemimpin yang dianggap tidak mumpuni.

“Namun demikian, legenda ini telah menjadi bagian dari memori kota. Semacam teguran halus dari masa lalu kepada siapa pun yang mengabaikan tanggung jawab di ruang kekuasaan,” jelasnya dengan nada berat.