Palembang, UpdateKini – Di balik senyum haru dan sorak tepuk tangan yang menggema di Gedung Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang, terpancar satu kisah tentang ketekunan dan cinta pada sejarah Kemas Abdul Rachman Panji, atau akrab disapa Kemas Ari Panji, resmi menyandang gelar Doktor Peradaban Islam ke-272, dengan predikat Amat Memuaskan, pada Rabu (18/6/2025).
Namun gelar ini tak sekadar deretan huruf di belakang nama. Ia adalah hasil perjuangan panjang yang penuh liku.
Untuk membiayai kuliahnya, empat motor pribadi harus dilepas satu per satu. Bukan karena mewah, tapi karena memang itu satu-satunya aset yang bisa dijual. Gaji sebagai dosen yang tersisa hanya 200 ribu rupiah per bulan, habis untuk membayar cicilan pendidikan. Dalam keterbatasan itu, Kemas Ari Panji bahkan menulis dan menerbitkan buku bersama kawan-kawan seperjuangan, lalu hasil penjualannya untuk keperluan kuliah, bukan kebutuhan pribadi.
“Kalau teori, orang bilang harus semangat. Tapi kalau tidak dilakukan, itu hanya kata-kata. Saya tunjukkan ini harus konkret. Saya lakukan,” ucapnya terbata di tengah sambutan, matanya berair.
Berbekal semangat tak kenal lelah, sang sejarawan Kota Palembang ini meneliti jejak-jejak lama yang nyaris terlupakan: mata uang Kesultanan Palembang Darussalam.
Dalam disertasinya, ia membuktikan bahwa uang pitis, baik “tebok” maupun “buntu”, bukan sekadar alat tukar, melainkan lambang identitas, kedaulatan, bahkan perlawanan terhadap kolonialisme.
Kisahnya bukan hanya tentang akademik, tapi juga soal keberanian untuk bertahan di tengah tekanan waktu, ekonomi, dan ekspektasi. Dalam sambutannya yang menggetarkan, Kemas Ari Panji tak malu meneteskan air mata.
Ia mengaku sempat nyaris menyerah. Tapi dorongan dari keluarga, sahabat, dan rekan sejawat membangkitkan semangatnya.
“Kalau tidak selesai, saya diselesaikan,” ujarnya disambut tawa haru para hadirin.
Disertasinya disambut penuh apresiasi oleh berbagai pihak, mulai dari tokoh adat seperti Sultan Palembang Darussalam SMB IV Raden Muhammad Fauwaz, hingga akademisi terkemuka.
Semua sepakat bahwa penelitian ini membuka kembali lembaran sejarah yang nyaris terkubur, mengenalkan kembali kepada publik bahwa Palembang pernah berdiri megah dengan sistem keuangan sendiri, yang tangguh menghadapi penjajahan.
Promotor Prof. Dr. Muhammad Adil bahkan menyebutnya sebagai langkah monumental dalam menghidupkan kembali budaya dan jati diri Palembang.
Ia berharap karya ini tak berhenti di rak perpustakaan, melainkan menjadi bacaan publik yang membuka kesadaran sejarah anak bangsa.
Perjuangan Kemas Ari Panji adalah bukti bahwa usia, hambatan, dan kelelahan bukan alasan untuk berhenti bermimpi.
Ia menyebut gelar doktor ini sebagai “SIM”, sebuah izin untuk mengamalkan ilmu, menginspirasi mahasiswa, dan mengabdi pada tanah kelahiran.
Kini, dengan gelar doktor di tangan dan semangat yang tak pernah padam, Kemas Ari Panji bukan hanya meneliti sejarah, ia telah menuliskannya dengan hidupnya sendiri.
Kisah ini bukan hanya tentang gelar doktor. Ini tentang keteguhan hati yang menolak tunduk pada keadaan. Tentang bagaimana ilmu bisa dibeli bukan dengan uang, tapi dengan keberanian melepas kenyamanan.
Kemas Ari Panji bukan sekadar doktor. Ia adalah cermin, bahwa mimpi bisa dikejar meski harus dibayar mahal. Bahwa kadang, keberhasilan bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang tidak berhenti berjalan. (fly)