Opini

Tiap Generasi Punya Caranya Sendiri Kala Mencintai

×

Tiap Generasi Punya Caranya Sendiri Kala Mencintai

Sebarkan artikel ini

Oleh: Faldy Lonardo

Sekretaris Dewan Kesenian Palembang

 

Budaya Palembang tumbuh dari denyut sejarah yang panjang, dari alunan pantun di tepian Musi, dari gemulai gerak tari yang menyimpan petuah nenek moyang, hingga anyaman kata dalam syair. Di setiap lekuk seni itu, tersimpan napas panjang peradaban yang tak sekadar indah, tetapi juga mengajarkan kita tentang jati diri.

 

Di Dewan Kesenian Palembang, kami percaya bahwa seni bukan hanya tontonan. Ia adalah cara kita melihat ke dalam. Kadang sederhana, kadang dalam, tapi selalu ada makna yang mengingatkan kita akan siapa kita ini, anak sungai, warga kota, bagian dari cerita panjang yang terus berjalan.

 

Seni tak pernah diam. Ia ikut bergerak bersama waktu. Maka, pelestarian budaya tak cukup hanya lewat pajangan atau seremonial. Budaya perlu ikut hidup di tengah kita, lewat festival, pelajaran di sekolah, bahkan lewat video singkat di media sosial. Yang penting, ia terasa dekat. Bisa dipegang. Bisa dirasakan oleh generasi yang tumbuh hari ini.

 

Kita tak ingin seni dan budaya Palembang hanya jadi peninggalan indah yang kita pandang dari jauh. Sebaliknya, ia perlu menyapa kita sehari-hari. Dalam cara berpakaian, cara bicara, dalam musik yang kita dengarkan tanpa takut disebut kuno. Justru di sanalah letak kekuatannya, karena ia tumbuh dari tanah sendiri.

 

Kami terus berupaya menjaga nyala itu agar tak padam. Seni, bagi kami, adalah jalan yang menghubungkan, bukan batas yang memisahkan. Ia menyambungkan yang dulu dan yang nanti, dalam perasaan yang sama: rasa sayang terhadap tempat kita berpijak.

 

Lalu, muncul pertanyaan yang sering kami pikirkan, Apakah generasi muda Palembang masih merasa dekat dengan warisan budayanya? Ataukah semua ini mulai terasa asing di mata mereka? Jawabannya tidak mudah, dan bisa berbeda-beda. Tapi kami tahu, jarak itu tak akan mengecil sendiri kalau kita diam. Harus ada upaya agar mereka bisa ikut serta, bukan hanya jadi penonton.

 

Kita tidak bisa cuma berkata, “cintailah budaya.” Itu tak cukup. Kita harus mengajak mereka turun tangan. Bikin karya. Menari. Menulis. Bernyanyi. Berkisah. Bahkan membuat konten budaya dengan gaya mereka sendiri. Biarkan mereka mengeksplorasi, sejauh masih ada rasa Palembang di dalamnya. Di situ, seni jadi tempat bermain yang merdeka tapi tetap berakar. Kami percaya, tiap generasi punya caranya sendiri dalam mencintai.

 

Kami juga sadar, kalau ingin seni bertahan, kita tak bisa hanya mengandalkan panggung sesekali. Harus ada sistem yang mendukung, seperti pendidikan yang serius, ruang kolaborasi yang terbuka, dan kebijakan yang memang berpihak.

 

Kami banyak belajar, justru dari warga yang sehari-hari hidup dengan seni tanpa menyadarinya. Di gang sempit, di warung kopi, di studio kecil yang berisik tapi penuh ide. Seni tak selalu butuh sorotan lampu. Ia bisa tumbuh di mana saja, asal diberi ruang dan dihargai.

 

Menjaga budaya bukan semata perkara mengingat masa lalu. Ini soal bagaimana kita menanam benih hari ini, agar esok masih ada yang bisa dipetik. Di balik gerakan tari, ada kisah. Di balik nyanyian lama, ada identitas yang tak ingin hilang. Palembang bukan hanya kota tua. Ia punya jiwa, dan seni adalah salah satu nadinya.

 

Itulah catatan kami. Sederhana, mungkin. Tapi penuh harapan. Karena budaya adalah milik bersama. Dan seni, bagi kami, adalah cara paling jujur dan manusiawi untuk merawatnya.