Palembang, UpdateKini – Konten video yang dibuat oleh kreator Willie Salim mengenai memasak rendang di Benteng Kuto Besak (BKB) viral di media sosial dan memicu kontroversi. Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja SH MKn, menegaskan bahwa insiden tersebut mencoreng budaya Palembang, terutama nilai semon yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
Makna Budaya Semon dalam Adat Palembang
Dalam budaya Palembang, semon berarti rasa malu yang berkaitan erat dengan harga diri dan kehormatan. Masyarakat Palembang memiliki tata krama yang ketat dalam bersikap, terutama dalam hal makan dan jamuan.
“Kita memiliki budaya semon, di mana seseorang tidak akan mengambil makanan sebelum ditawari oleh tuan rumah. Makan dengan rakus atau berebut makanan bukanlah cerminan budaya kita,” ujar SMB IV dalam pernyataannya pada Selasa (25/3/2025), didampingi tokoh adat Kesultanan Palembang dan Ketua Tim 11, Mang Dayat.
Menurutnya, dalam adat Palembang, tamu yang diundang akan dijamu dengan penuh penghormatan. Makan bersama dilakukan dengan tata cara tertentu, seperti sajian kambang dan sajian buluh, di mana tamu tidak dibiarkan mengambil makanan sendiri, melainkan dilayani sepenuhnya.
Selain itu, dalam tradisi Palembang, seseorang yang bertamu tidak akan makan sebelum ditawari, dan jika tidak ada undangan resmi, mereka tidak akan sembarangan mengambil makanan di suatu tempat. Hal ini menunjukkan tingkat penghormatan yang tinggi terhadap tuan rumah serta menjaga martabat diri sendiri.
“Jika belum ada acara atau kata-kata ‘diaturin‘, masyarakat kita tidak akan melakukan tindakan tersebut,” terang SMB IV.. Ini adalah bentuk semon dalam budaya kita,” tambah SMB IV.
Budaya Palembang yang Perlu Dihormati
Sebagai kota yang memiliki sejarah panjang dan peradaban yang tinggi, Palembang memiliki etika sosial yang kuat, terutama dalam hal tata cara makan dan menjamu tamu.
Dalam tradisi makan Palembang, ada istilah makan sajian kambang dan sajian buluh, di mana tamu akan dijamu dengan makanan berkualitas tinggi dan dilayani secara terhormat.
Masyarakat Palembang juga sangat menjunjung tinggi adat bahwa tamu adalah raja, sehingga jamuan makan bukanlah sesuatu yang dilakukan dengan sembarangan atau tanpa aturan.
“Tradisi makan prasmanan yang mengharuskan tamu mengambil makanan sendiri bukanlah bagian dari budaya asli kita. Dahulu, masyarakat kita lebih memilih pulang daripada harus mengantri,” jelas SMB IV.
Namun, seiring perkembangan zaman, masyarakat Palembang mulai terbiasa dengan budaya prasmanan.
“Meski begitu, nilai dasar seperti kesopanan, penghormatan terhadap tuan rumah, serta semon tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial mereka,” terangnya. (fly)